Artificial intelligence | Freepik

Nasional

AI Jadi Masa Depan Perkembangan Bangsa 

Indonesia membutuhkan banyak SDM dalam bidang AI

JAKARTA — Artificial intelligence (AI) (kecerdasan buatan) menjadi masa depan perkembangan bangsa Indonesia. Dengan mengembangkan bidang ini, Indonesia akan mudah bersaing dalam perkembangan dunia.

Menteri Riset dan Teknologi Indonesia / Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro menegaskan inovasi merupakan hal strategis untuk meningkatkan kualitas hidup dan menyukseskan visi Indonesia maju dalam mencapai negara berpenghasilan tinggi sebelum tahun 2045. Dengan meningkatnya perkembangan teknologi AI di Indonesia, Bambang menekankan bahwa lebih dari sebelumnya, kehadiran para profesional dan eksekutif yang mahir di bidang teknologi sangat dibutuhkan untuk mewujudkan transformasi digital di berbagai industri di Indonesia.

Mantan Kepala Bappenas ini berharap kontribusi komunitas profesional mancanegara dalam 5 bidang prioritias yakni; (i) kesehatan; (ii) reformasi birokrasi; (iii) pendidikan dan riset; (iv) ketahanan pangan; dan (v) mobilitas dan kota cerdas.

Dia menjelaskan, Indonesia masih perlu meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya untuk dapat menghadapi tantangan era revolusi industri 4.0. Indonesia, masih membutuhkan talenta-talenta yang memiliki tiga kategori kemampuan digital yang diharapkan dapat beradaptasi dengan era revolusi industri 4.0.Talenta-talenta dengan 3 kriteria kemampuan digital tersebut antara lain adalah orang-orang yang memiliki keterampilan secara teknis, insinyur atau programmer dan juga enterpreneur yang dapat menguasai kemampuan di bidang teknologi atau disebut juga dengan teknopreneur.

Talenta yang memiliki keterampilan teknis tersebut biasanya berasal dari sekolah pendidikan kejuruan. Namun, sayangnya, sekolah kejuruan di Indonesia perlu dimodifikasi ulang sehingga mampu memenuhi kebutuhan SDM yang memiliki kemampuan digital yang memadai.

"Contohnya pada dasarnya Indonesia kekurangan tenaga ahli pengkodean. Untuk melahirkan tenaga ahli pengkodean, sekolah kejuruan perlu meningkatkan tidak hanya jumlah tetapi juga (memperbaiki) kurikulum," kata dia.

photo
Ilustrasi acara Gipa 2020 - (Erdy Nasrul/Republika)

Kurikulum pendidikan kejuruan masih perlu disesuaikan sehingga mampu mengikuti kemajuan teknologi digital saat ini.Kemudian, talenta lain yang dibutuhkan untuk dapat merangkul era digital 4.0 adalah perlunya SDM seperti insinyur dan juga programmer. Indonesia, kata Menristek, sebenarnya memiliki banyak SDM yang dimaksud. Tetapi sayangnya, kebutuhan akan insinyur dan programmer lebih tinggi dibandingkan jumlah insinyur dan programmer yang ada saat ini. Akibatnya, Indonesia kerap mendatangkan insinyur dan juga programmer dari luar negeri.

Namun demikian, dalam jangka waktu sedang hingga lama, Indonesia perlu mempercepat upaya menghasilkan insinyur atau programmer yang bertalenta sehingga kebutuhan akan SDM tersebut dapat dipenuhi oleh tenaga lokal.Selain itu, Indonesia juga masih membutuhkan banyak enterpreneur yang sekaligus dapat menguasai teknologi atau disebut juga dengan teknopreneur.Kebutuhan terhadap teknopreneur tersebut, menurut Bambang, menjadi penting mengingat negara-negara lain telah banyak mengalihkan aktivitas bisnis utama mereka tidak lagi pada manufakturing sederhana atau pada sumber daya alam, tetapi saat ini lebih banyak terfokus pada bisnis digital.Bisnis digital telah mendominasi bisnis di dunia saat ini. Oleh karena itu, Indonesia tentunya perlu bergerak ke arah itu, sehingga membutuhkan lebih banyak lagi teknopreneur.

Dengan sumber daya teknopreneur yang memadai, Menristek optimistis Indonesia akan mampu bersaing dalam bidang artificial intelligence. Bahkan Indonesia sangat mungkin menjadi kiblat perkembangan AI di dunia.

Penerapan artificial intelligence dan machine learning (AI/ML) di berbagai industri diprediksi akan meningkatkan produktivitas global sebesar 13 Triliun USD, sayangnya menurut McKinsey & Company lebih dari 40 persen perusahaan menilai kurangnya SDM yang memiliki keahlian di bidang ini menjadi kendala terbesar dalam investasi maupun implementasi AI/ML.

Sehingga Global Indonesia Professionals’ Association (GIPA) mengadakan forum Going Global Series: Predicting Your Roles in Artificial Intelligence and Machine Learning dengan tiga narasumber inspiratif yang bekerja di Microsoft, Citigroup, dan Google di Amerika Serikat dan Singapura.

“GIPA mengadakan forum going global ini untuk memberikan inspirasi bagi anak bangsa di luar negeri dan di Indonesia untuk berani berkarir secara global terutama di bidang AI/ML sebagai program kami untuk pembangunan SDM Indonesia” ujar Steven Marcelino, Chairman dari GIPA, yang merupakan sebuah asosiasi non-profit untuk kalangan profesional dan eksekutif bekerja di mancanegara.

Pihaknya berharap mampu berkontribusi dengan membangun inspirasi dan menggerakkan mahasiswa dan profesional muda untuk masuk ke bidang AI/ML. Tercatat acara ini disaksikan langsung oleh lebih dari 1.100 mahasiswa dan profesional muda yang berdomisili di 120 kota dan 24 negara.

“GIPA kali ini menggandeng Kemenristek/BRIN, KBRI Washington DC, serta didukung oleh PPI Dunia, Indonesian Professionals Association (IPA) di A.S. dan Singapura dalam pelaksanaan forum ini” ujar Hilmi Kartasasmita, Head of Indonesia di GIPA selaku MC dalam forum ini.

Going Global Series ini kemudian dibuka oleh Menristek Bambang Brodjonegoro, yang mengapresiasi adanya forum ini yang sejalan dengan Strategi Nasional AI yang baru dipublikasikan. 

Nurvirta Monarizqa (Mona) selaku narasumber pertama dari diskusi ini memulai paparannya dengan ibrahnya menjadi data scientist di Microsoft, Seattle. Mona yang mendapat gelar pascasarjana dari New York University bercerita bahwa dalam mencari kerja, kegigihan sangat penting karena dia pun dulunya mengirim lamaran ke ratusan pekerjaan. Bahkan seiring dia melamar dan melakukan interview, dia menyadari bahwa kesulitan utamanya bukanlah di kemampuan teknis, namun di rasa percaya diri.

Oleh sebab itu, Mona memutuskan untuk bekerja selama 3 tahun di perusahaan yang lebih kecil dahulu di mana dia mengasah soft-skills dan tingkat percaya dirinya dengan berinteraksi langsung dengan berbagai klien, sebelum kemudian berpindah ke Microsoft. ‘Mencari pekerjaan itu tentu tidak mudah, namun disinilah pentingnya kita bersikap ulet dan terus mempersiapkan diri sebaik mungkin, tanpa melupakan resume maupun proses interview yang ada.’ ujar Mona.

Diskusi ini dilanjutkan dengan, Kartina Saifuddin (Wina), seorang Senior Vice President di Citi, New York memberi kilas balik kepada pengalamannya bekerja dan berkembang secara profesional.

“Satu hal yang terus konsisten selama saya bekerja adalah pentingnya pikiran yang terbuka dan kemauan belajar,” tukas Wina yang sekarang memimpin tim manajemen data di salah satu bank terbesar di Amerika Serikat tersebut.

Dia pun bercerita bahwa perkembangan karirnya, dari mendapat gelar matematika dan ekonomi, bekerja di manajemen resiko, hingga sekarang hanya bisa terjadi karena dia memiliki rasa ingin tahu yang kuat.

‘Saya ingin tantangan yang baru dan keterampilan yang akan masih relevan 20 tahun kedepan nanti’, ujar Wina. Selain itu, membuat hubungan dan mencari mentor yang baik sedini mungkin juga penting untuk mendapat masukan dari orang-orang yang telah sebelumnya melewati proses yang ingin kita lalui.

Narasumber terakhir dari forum ini, Cipta Herwana (Cipta), kemudian mengingat balik asal muasal passion-nya di bidang komputer. “Aku ingat ketika masih SMP, aku melihat buku Visual Basic di rak buku ayahku; sejak saat itu aku jadi suka komputer dan bagaimana kita bisa menjelaskan hal-hal kompleks dengan sangat logis,” ujarnya.

Seiring waktu, pemuda yang sekarang berkarir sebagai Machine Learning Engineer di Google Pay ini semakin melihat potensi dari implementasi teknologi di berbagai sektor.

“Kalau kita lihat sekarang AI/ML ini sudah mentransformasi berbagai hal: mulai metode penanganan COVID yang diberlakukan di Singapura hingga pengembangan mobil tanpa pengemudi, aku tidak sabar hingga AI/ML bisa membantu manusia dalam mengerjakan hal-hal yang bersifat repetitif,” ujar Cipta dengan matanya yang berbinar-binar.

Forum ini ditutup oleh Muhammad Lutfi, Dubes Indonesia untuk AS, yang kembali menekankan pentingnya inovasi terutama dalam mempersiapkan Indonesia agar dapat menjadi negara majusebelum habisnya dividen demografi di tahun 2038.

Contoh inovasi yang dibutuhkan adalah dalam bidang sustainable infrastructure: Saat ini produksi listrik di Indonesia yang berasal dari green power plant hanya sebesar kurang dari 5% – angka ini harus bisa naik hingga 25% di tahun mendatang.

“Indonesia akan dapat melakukan ini dengan orang-orang dan profesional seperti kalian.

Semoga dengan teknologi digital ini kita bisa memulai banyak diskusi dan menjadi solusi [terhadap isu ini]. Saya mengharapkan bahwa melalui diskusi-diskusi seperti yang diadakan GIPA kali ini, kita dapat mempersiapkan lebih banyak orang untuk mengambil peran utama di pembentukan solusi tersebut” ujar Muhammad Lutfi, yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM juga.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat